1.1 Latar
Belakang
Mempelajari pendekatan kewilayahan serta
menganalisi interaksi antar desa untuk mengetahui seberapa besar interaksi
tersebut,maka akan membahas tentang interaksi antar desa, desa tersebut yaitu: Desa
Karangbong, Desa Keboansikep, Desa Keboananom.
Desa
Keboananom dan Desa Keboansikep letaknya saling berdekatan, sedangkan Desa
Karangbong agak berjauhan. Akan tetapi desa ketiga tersebut saling berinteraksi
satu dengan yang lainnya, karena mempunyai jalan alternatif dan mudah
terjangkau dari Surabaya. Disini akan mencari satu desa yang mana interaksinya
paling berdominan dari desa yang kainnya. Selain
itu akan dijabarkan tentan sejarah dari Desa karangbong dan Desa keboansikep.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana terjadinya Sejarah Desa Karangbong?
2.
Bagaimana terjadinya Sejarah Desa Keboansikep?
3.
Desa mana interaksinya paling besar?
4.
Dari desa mana yang jumlah pendiduknya paling besar?
BAB II
PEMBAHASAN
Pendekatan
Kewilayahan
Menganalisis
antar Desa
2.1 Letak Geografis Desa Karangbong
A. Luas dan batas wilayah
Luas :
a. Luas desa : 197.782 Ha
B. Batas wilayah
a. Utara : Desa Ganting
b. Selatan : Desa Banjar Kemantren
c. Barat : Desa Kelopo X
d. Timur : Desa Tebel
C. Jumlah
penduduk
Jumlah Penduduk menurut jenis kelamin:
a. Laki-laki
: 2651 jiwa
b. Perempuan : 2714 jiwa
Jumlah : 5365 jiwa
c. Kepala Keluarga : 1392 jiwa
D. Jumlah Penduduk menurut Agama/Penghayatan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa
a. Islam : 5312 jiwa
b. Kristen : 25 jiwa
c. Katolik : 28 jiwa
2.2 SEJARAH DESA KARANGBONG
. Sejarah Desa Karangbong
Asal-usul babat alas desa
Karangbong yaitu Mbah Sayid Mahmud asal dari pasukan Mataram. Beliau mempunyai lima saudara, yaitu Kyai
Mas’ud (Pagar Wojo), Garnawi (Sukodono-Ngares), Mbah Ragil (meninggal di
Kepetingan) dan yang satunya di Tulangan namanya tidak diketahui. Karangbong
dari istilah ”Karangan di obong” yang mana di dalam karangan tersebut terdapat
gembong (yang dahulu nama dari Macan yang sudah besar) karena Mbah Mahmud
menemukan daerah ini dalam keadaan yang berupa alas yang di dalamnya terdapat
banyak gembong (macan yang sudah besar) sehingga Mbah Mahmud membakar dan
memberikan nama desa ini desa Karangbong. Sedangkan yang dinamakan jalan
Surowongso karena Mbah Mahmud mempunyai keturunan yang bernama Surowongso maka
nama tersebut dijadikan untuk jalan. Adapun keturunan dari babat alas sebagai
berikut:
Surowongso
- H. Abdul Karim
- H. Abdul Adhim
- H. Imam Sya’roni
- H. Ifon Robert (Kepala Desa
sekarang)
2.3 Letak Geografis Desa Keboansikep
A. Luas Wilayah
(km 2) : 2;25
B. Jumlah Penduduk
Desa Keboansikep
Jumlah Penduduk: 10993
C. Batas Wilayah
a. Timur : Desa Gedangan
b. Utara : Desa Bohar
c. Barat : Desa Keboananom
d. Selatan :
Desa Seruni
2.4 SEJARAH DESA KEBOANSIKEP
Pada Tahun 1850,
pasukan Diponegoro datang di daerah hutan wilayah kota Sidoarjo. Pasukan itu di bawah pimpinan
Buyut Endang dan Mbah Jogoreso. Mereka memutuskan untuk menetap di sana dan mulai menebangi pohon yang ada
di hutan untuk dijadikan sebuah pemukiman. Mbah Jogoreso dan Buyut Endang itu
tidak lain adalah tokoh yang sangat berperan dalam munculnya atau berdirinya
desa Keboansikep. Mereka adalah Mbah Jogoreso dan Buyut
Endang yang telah menjadi suami istri. Pada waktu itu Mbah Jogoreso dan Buyut
Endang mencari wilayah yang untuk dibangun rumah sebagai tempat tinggal demi
kelangsungan hidupnya. Tidak
lama kemudian mereka menemukan tempat yang dianggap sesuai untuk dijadikan
pemukiman tempat tinggal. Dengan semangat dan kegigihannya, Mbah Jogoreso,
Buyut Endang serta para prajuritnya berusaha menjadikan hutan itu menjadi
tempat yang berguna demi kelangsungan hidupnya dengan cara menebang (membabad)
hutan tersebut. Dengan semangat, kesabaran, kegigihan yang diajarkan Mbah
Jogoreso serta Buyut Endang kepada para prajuritnya yang membatunya, sedikit
demi sedikit hutan itu berhasil dijadikan ladang yang dibangun rumah serta
tempat untuk ditanami tanaman yang bermanfaat demi kehidupan sehari-hari.
Setelah Mbah Jogoreso, Buyut
Endang beserta para pasukan yang membantu dalam pembabatan hutan itu memiliki
tempat tinggal yang layak, dalam benak Mbah Jogoreso pernah terlintas fikiran
bahwa setiap manusia yang hidup pasti memiliki keturunan atau generasi. Pada
akhirnya keturunan itu juga akan menambah jumlah manusia yang hidup di tempat
itu. Apakah akan cukup wilayah yang kecil itu, bila jumlah manusianya terus
bertambah ?. Akhirnya Mbah Jogoreso merundingkan hal ini dengan para prajurit
yang membatunya tadi, kemudian muncul kesepakatan untuk melanjutkan penebangan
atau pembabatan hutan supaya menjadi lebih luas wilayah untuk pemukiman demi
kehidupan keturunannya kelak.
Sebelum melakukan kegiatan
pembabatan hutan ada pembagian tugas yaitu perbedaan tempat atau wilayah yang
akan dibabad (tebang). Dalam hal ini Mbah Jogoreso dan Buyut Endang selalu
bersamaan untuk penbabatan hutan itu dan berpisah dari para prajurit lainnya.
Pada saat Mbah Jogoreso dan Buyut Endang melakukan pekerjaan itu, tiba-tiba
mereka berdua menemukan sebuah sungai yang tidak terlalu besar atau lebar. Di
sebelah sungai tersebut masih terdapat hutan belantara yang menurut Mbah
Jogoreso harus juga dibabad dan dijadikan pemukiman. Meraka berdua bergandengan
tangan dalam melewati sungai itu, awal mulanya mereka mengira bahwa sungai itu
tidak terlalu dalam. Tetapi angan-angan difikiran mereka tidak sesuai dengan dugaannya.
Karena ketika mereka mulai melewati sesamapai di tengah sungai, ternyata sungai
itu dangkal. Akibat faktor arus yang yang deras, akhirnya Mbah Jogoreso serta
Buyut Endang terhanyut di sungai itu. Tidak lama kemudian setelah penduduk dan
para pengikutnya yang sudah selesai membabad hutan, mereka tidak satupun yang
melihat Mbah Jogoreso beserta Buyut Endang. Sejumlah penduduk merasa cemas dan
kebingungan karena seharusnya mereka berdua sudah kembali ke pemukimannya. Tapi
ada seorang dari warga itu memiliki ide untuk mencari Mbah Jogoreso serta Buyut
Endang dengan menelusuri daerah yang telah menjadi babatannya. Akhirnya para
penduduk setuju dan dimulailah pencarian itu. Langkah demi langkah mereka
menelusuri tempat yang sudah dibabat Mbah Jogoreso dan Buyut Endang. Sesampai
wilayah terakhir yang dibabat tadi, para warga melihat ada sebuah sungai.
Kemudian mereka berhenti dan berfikir apakah mungkin Mbah Jogoreso dan Buyut
Endang melakukan pembabatan hutan sampai hutan yang berada di sebelah sungai. Akan
tetapi tidak sedikitpun tampak hasilnya. Dari sinilah mereka mulai sadar,
apakah mungkin Mbah Jogoreso dan Buyut Endang mengalami kegagalan dalam
melewati sungai ! Akhirnya para warga sepakat untuk mencari mereka berdua
dengan berjalan di tepi sungai mengikuti arus sungai tersebut. Tidak lama
kemudian salah seorang warga melihat Buyut Endang terdampar di tepi sungai
dekat dengan sebuah batu besar. Setelah dilihat kondisinya, ternyata Buyut
Endang telah meninggal. Akan tetapi para penduduk masih terlihat kebingungan
dan gelisah karena Mbah Jogoreso belum juga ditemukan. Ketika berjalan beberapa
meter tidak jauh dari tempat ditemukannya Buyut Endang, para warga juga
menemukan Mbah Jogoreso dalam kondisi tersangkut di pohon besar yang tumbang ke
sungai. Setalah diperiksa ternyata Mbah jogoreso juga sudah meninggal. Perasaan
sedih menyelimuti hati para pasukannya atau penduduk yang senasib seperjuangan
dalam mencari wilayah untuk tempat tinggal. Akhirnya para penduduk setuju dan
memutuskan bahwa Mbah Jogoreso dan Buyut Endang dimakamkan di tempat dekat
mereka masing-masing ditemukan saat terdampar di sungai. Sehingga letak makam
Buyut Endang dan mbah Jogoreso tidak bersebelahan, akan tetapi berdasar
ditemukannya saat mereka berdua terdampar. Jadi makam Buyut Endang di sebelah
barat sedangkan Mbah Jogoreso di sebelah timur (di hutan dekat sungai saat
mereka terdampar). Samapai sekarang makamnya masih ada dan sungai itu sudah
menjadi desa. Setelah meninggalnya Mbah Jogoreso dan Buyut Endang, para
penduduk berjanji akan meneruskan cita-cita mereka berdua yaitu menebang
(membabat) hutan untuk dijadikan pemukiman atau desa. Mereka berbagi tugas
untuk meneruskan cita-cita tersebut dan sepakat mengawali pembabatan hutan itu
yang peratama dimulai dari wilayah yang dekat makam Mbah Jogoreso dan Buyut
Endang.
Setelah beberapa tahun
kemudian dengan bertambahnya jumlah warga yang juga memiliki kepandaian,
akhirnya hutan belantara berubah menjadi pemukiman atau sebuah desa. Bahkan
sungai yang menghanyutkan Mbah Jogoreso beserta Buyut Endang pada saat
mengalami kekeringan, oleh warga diratakan dengan tanah dan menjadi tempat
tinggal pula. Akan tetapi desa yang sudah dihuni banyak penduduk itu belum
memiliki nama. Sampai masa sebelum G30/SPKI di desa itu ada seorang warga menemukan
sebuah benda yang berbentuk persegi ukurannya kecil di kebun dekat langgar,
yang sekarang menjadi masjid dan diberi nama masjid Jami’ Al-Mubarok. Kebun
tempat ditemukan persegi (kotak) itu dulunya milik warga setempat yang bernama
Mbah Yem, setelah kotak kecil ditemukan oleh seorang warga kemudian dibukalah
kotak tersebut. Kotak itu berisi baju berwarna putih atau orang dahulu
menyebutnya kelambi putih. Ahkirnya seorang warga yang menemukan baju putih
tadi mengadakan pengumuman, siapa yang merasa memiliki baju (kelambi) putih ini
? warga masyarakat memberikan pernyataan bahwa tidak ada seorangpun yang
mempunyai baju putih tersebut. Lalu dikemudian hari kotak kecil yang berisi
baju putih itu diserahkan pada pemerintah Sidoarjo dan disimpan dalam museum. Setelah
waktu 1 minggu salah seorang warga mengambil kotak tersebut dan disimpan di
rumah seorang warga yang menjadi sesepuh desa tersebut. Baju (kelambi) putih
itu oleh seorang warga dicoba untuk dibakar akan tetapi tidak bisa terbakar
sedangkan pada saat dicuci juga tidak basah. Akhirnya baju putih itu disampan
oleh seorang warga dan diabadikan sebagai benda sakral atau keramat. Karena
baju putih yang ditemukan dalam kotak pada sebuah “kebun” dan kegunaannya
sebagai penutup tubuh “sikepi/nyikepi awak” maka pada akhirnya masyarakat
sepakat menggunakan istilah tersebut untuk nama desanya, yaitu Kebunsikep.
Ketika pada saat ditinggal Mbah Jogoreso dan Buyut Endang desa itu belum
memiliki sebuah nama. Dianggap kurang enak didengar maka warga mengganti “Kebunsikep”
menjadi “Keboansikep”.
Dengan kondisi masyarakat yang
sudah modern, demi kepentingan sebuah desa maka dibentuklah kepala desa beserta
perangkat desa. Selain itu wilayah desa Keboansikep dibagi mejadi 3 dusun yaitu
: dusun Congkop, dusun Calukan dan dusun Sikep. Desa Keboansikep ini berbatasan
langsung, sebelah timur berbatasan dengan desa Gedangan, sebelah utara
berbatasan dengan desa Bohar, sebelah barat berbatasan dengan desa Keboananom,
dan disebelah selatan berbatasan dengan desa Seruni.
2.5 Letak Georafis Desa Keboananom
A. Luas Wilayah
(km 2) : 1,3
B. Jumlah Penduduk
Desa kebonanom:
Jumlah
penduduk : 8096
C. Batas Wilayah
Timur : Desa Ganting
Barat :
Desa Seruni
Utara :
Desa Keboansikep
Selatan : Desa Karangbong
2.6 Interaksi Antar Tiga Desa
|
|||||||||||||||
|
|
||||||||||||||
Misalnya:
A: Desa
Keboananom
B: Desa
Keboansikep
C: Desa
Karangbong
Rumus Interaksi:
Keterangan:
F = Interaksi
M1 = Jumlah
penduduk diwilayah 1
M2
= Jumlah penduduk diwilayah 2
r2 = Jarak
- Interaksi antara Desa A dan B
8096 . 10993
F =
32 km
88999328
=
9 km
= 9.888.814,2
- Interaksi antara Desa B dan C
10993
. 5365
F =
402
km
58977445
=
1600 km
= 36.860.9
- Interaksi antara Desa C dan A
5365 . 8096
F =
202
km
43435040
=
400 km
= 108.587,6
Interaksi
antar desa tersebut yang paling banyak jumlahnya yaitu interaksi Desa
Keboananom dan Desa Keboansikepyang jumlahnya mencapai 9.888.814,2
- Faktor yang mempengaruhi interaksi ke
Desa Keboansikep
- Dilokasi desa keboansikep terdapat pabrik industri,
- Pertokoan
- Perdagangan
- Pasar
- Sekolah
- Perumahan
- Letaknya stratekis, kendaran tranfortasi mudah terjangkau
- Kendaran tranfortasi mudah terjangkau
- Pertambangan
- Pertanian
- Warnet
- Foto copy
- Warkop
- Masjid/ Mushola
- Dan dilaksanakan rutinan yasinan
serta pengajian.
BAB III
SIMPULAN
Simpulan :
Bahwa
interaksi dari ketiga desa tersebut yang paling besar adalah Desa Keboananom
dengan Desa Keboansikepyang jumlahnya mencapai 9.888.814,2.
Yang terbanyak kepadatan penduduknya yaitu Desa
Keboansikep dibandimgkan deangan yang lainnya.
Desa Karangbong yaitu Mbah Sayid Mahmud asal dari pasukan Mataram, dan karangbong
dari istilah ”Karangan di obong” sedangkan sebuah “kebun” dan kegunaannya
sebagai penutup tubuh “sikepi/nyikepi awak” maka pada akhirnya masyarakat
sepakat menggunakan istilah tersebut untuk nama desanya, yaitu Kebunsikep.
Ketika pada saat ditinggal Mbah Jogoreso dan Buyut Endang desa itu belum
memiliki sebuah nama. Dianggap kurang enak didengar maka warga mengganti
“Kebunsikep” menjadi “Keboansikep”.