Saturday, November 9, 2013

Permasalahan politik di Indonesia dan Penyelesaiannya

2.1 Permasalahan Politik Di Indonesia Dan Penyelesaiannya a. Permasalahan : • Indonesia Empat Besar Soal Suap ( Indeks 2011 TII terkait perilaku pebisnis). Pengusaha Indonesia termasuk yang paling banyak memberikan suap ketika berbisnis diluar negeri. Berdasarkan kajian TII ( Transparansi Internasional ) tercatat : 1. Pengusaha Rusia paling rendah ( 6,1 ) 2. Pengusaha China ( 6,5 ) 3. Meksiko ( 7,0 ) 4. Indonesia ( 7,4) Semakin rendah Indeks menunjukkan tedensi bahwa suap semakin sering digunakan untuk melancarkan usaha. b. Penyelesaiannya : Skor Indonesia yang makin rendah itu merupakan peringatan serius. Hal itu berkaitan dengan kepercayaan dunia internasional terhadap keberadaan pengusaha tanah air. Saya pikir produk TI ( Transparansi Internasional ) itu masih mendapat perhatian yang baik dari masyarakat Internasional. Disisi lain pemerintahan Indonesia, indeks terakhir yang di susun lembaganya juga bisa dijadikan pertimbangan dalam mengambil setiap kebijakan untuk pemgusaha dari negara luar. Pemerintahan Indonesia juga perlu segera membuat langkah strategis diantaranya, yang paling utama adalah mengadopsi semau artikel UNCAC ( United Coruption ) dalam UU Tipikor. Misalnya, pasal 16 UNCAC yang mengatur suap pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional. a. Permasalahan : • KPK Tolak Pengadilan Tipikor Daerah Bubar Pembubaran Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ( Tipikor ) daerah ternyata ditentang komisi pemberantasan korupsi ( KPK ). b. Penyelesaiannya : Bahwa pembubaran pengadilan tipikor di daerah harus dipikirkan matang-matang. Sebab, kehadiran pengadilan tipikor daerah adalah bentuk perjuangan pemberantasan korupsi sampai daerah-daerah. Yang harus diperbaiki itu sistem perekrutan ( hakim dan pengawasannya ). Saya berharap Mahkamah Agung ( MA ) dan Komisi Yudisial ( KY ) saling mengawasi peradilan korupsi di daerah. Kehadiran pengadilan tipikor di daerah adalah amanah undang-undang. Formula yang lebih tepat melalui revisi undang-undang yang menanungi pengadilan tipikor itu. Tentu, mengenai materi revisi dan perlu ada masukan pendapat dari berbagai pihak dengan begitu,tidak berulang persoalan pengadilan tipikor daerah yang lemah. a. Permasalahan : • Pemerintah Masih Reaktif Sikapi Konflik di Papua Penembakan, bentrok dan aneka kejadian lain di Papua adalah kombinasi dari sejumlah masalah yang tidak pernah selesai. Sikap pemerintah yang menimpakan masalah kepada gerakan separatis dinilai hanya sebagai bentuk reaktif. masalah di Papua dari Freeport sampai Puncak Jaya adalah gabungan dari konflik sosial, politik, kemanusiaan sampai masalah buruh. b. Penyelesaiannya : Ini bukan masalah orang Papua saja tapi menjadi masalah nasional bangsa Indonesia, menyesalkan reaksi pemerintah yang terkesan reaktif dalam menghadapi konflik di Papua. Konflik kerap kali dikaitkan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Padahal, keberadaan OPM ini hanyalah salah satu ekses dari kesenjangan ekonomi yang terjadi di Papua. Membangun rakyat Papua adalah meng-Indonesia-kan mereka, memberdayakan mereka dan tidak membiarkan mereka tertinggal, merasa sebagai bangsa Indonesia. Langkah-langkah ke sana saya kira masih masih belum cukup kuat. Saya menilai, dalam kisruh pekerja Freeport, itu adalah cara Freeport menaikkan posisi tawar untuk melawan renegoisasi kontrak karya. Renegoisasi kontrak karya akan ditolak dengan alasan karyawan mereka sudah menuntut kenaikan gaji. Jadi mereka lebih memilih menaikkan gaji karyawan dari pada mengubah pembagian keuntungan dengan RI. Ini lagu lama perusahaan. Ujung-ujungnya pemerintah akan menyerah karena tekanan dari perusahaan dengan alasan pekerja bekerja di tempat yang tidak aman. Aneka permasalahan di Papua menurut dia akan menjadi masukan dalam perumusan RUU Penanganan Konflik Sosial. RUU ini disiapkan untuk memberi solusi terhadap aneka konflik sosial di Indonesia. RUU ini disiapkan sebagai upaya mencegah, di samping juga memberi solusi terhadap konflik sosal yang terjadi di negeri ini. Pemerintah Indonesia segera membuka diri untuk menyelesaikan status politiknya bersama Bangsa Papua barat. Karena semua persoalan di Papua saat ini hanya tumbuh sebab adanya keinginan merdeka sebagai sebuah negara dan kegagalan implementasi Undang-Undang Pemerintah Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Papua. a. Permasalahan : • Dana Freeport kepada Polisi dan TNI Langgar UU Pemberian dana dalam bentuk apa pun dari pihak swasta seperti PT Freeport Indonesia kepada Polri dan TNI dinilai melanggar undang-undang (UU). Dalam UU tentang TNI dan Polri disebutkan, anggaran kedua institusi tersebut bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). b. Penyelesaiannya : Pemberian dana kepada Polri dan TNI dari pihak swasta jelas tak dibenarkan dalam UU. Pemberian anggaran untuk TNI dan Polri melalui APBN karena fungsi pertahanan dan keamanan yang terpusat. UU TNI dan Polri menjelaskan anggaran mereka dari APBN. Apabila ada anggaran dari swasta atau pemerintah daerah, maka itu penyimpangan terhadap UU. Kasus pemberian dana PT Freeport kepada polisi merupakan kelanjutan pemberian dana yang dilakukan perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat tersebut kepada TNI sejak masa Orde Baru. Setelah reformasi dan tugas pengamanan dalam negeri serta obyek vital diberikan kepada polisi, merekalah yang mendapat jatah. Ini yang seharusnya dikoreksi karena ada alokasi anggaran yang melanggar UU TNI dan Polri. Mereka enggak boleh dapat dana dari swasta. Dari pemerintah daerah saja enggak boleh, apalagi dari swasta seperti Freeport. a. Permasalahan : • Masalah penumpukan perkara pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA) Merupakan persoalan klasik yang sampai saat ini masih saja belum terpecahkan, tingginya volume perkara yang masuk tak berbanding lurus dengan perkara yang diputus. Gagasan-gagasan untuk mengikis tumpukan perkara tersebut telah diformulasikan dalam berbagai macam kebijakan. Pada tahun 1980-an misalnya MA menambah jumlah hakim agungnya untuk mengatasi masalah ini. Tahun 2000-an MA mengeluarkan Perma tentang Mediasi, yang menitikberatkan pada pentingnya proses mediasi dalam upaya perdamaian, agar derasnya perkara yang naik ke tingkat banding dan kasasi bisa ditekan. Namun upaya-upaya tersebut masih belum bisa menjadikan rasio jumlah hakim dan perkara yang diputus bisa berimbang, sehingga selain asas "sederhana, cepat dan biaya ringan" yang tak kunjung datang, selain itu masalah konsistensi dan kualitas putusan seringkali dipertanyakan para pencari keadilan. Pada petengahan bulan juli yang lalu, penulis berkesempatan mengikuti kegiatan penelitian tentang pembatasan perkara perdata pada tingkat kasasi yang dilaksanakan Badan Penelitian dan Pengembangan Mahkamah Agung bersama 30 orang hakim lainnya dari pengadilan agama dan pengadilan negeri se-jawa timur. b. Penyelesaiannya : Dari situ saya mengetahui gagasan-gagasan baru menarik yang akhir-akhir ini muncul tentang pembatasan perkara pada tingkat kasasi dan pembentukan sistem kamar, yaitu dengan membuat sistem pembagian perkara berdasarkan kamar-kamar, yaitu pidana umum, pidana khusus, perdata umum, perdata khusus, agama, tata usaha negara dan militer. Majelis hakim dibentuk berdasarkan kompetensinya, dan jumlah majelis hakim akan disesuaikan dengan jumlah perkara yang masuk sehingga akan terlihat konsistensi dan kualitas putusannya. Gagasan tersebut tertuang dalam sebuah buku yang berjudul Pembatasan Perkara: Strategi Mendorong Peradilan Cepat, Murah, Efisien dan Berkualitas yang merupakan naskah hasil penelitian Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) pada tahun 2010 yang lalu mengenai pembatasan perkara. Kajian ini menyentuh secara utuh konsep pembatasan perkara. Bahasan utama dalam buku diawali dengan prinsip atau dasar filosofis pembatasan perkara, perbandingan praktek pembatasan perkara di berbagai negara dan praktek pembatasan perkara di Indonesia yang pernah dilberlakukan atau masih diberlakukan sejak jaman kemerdekaan hingga kini yang memuat gagasan tentang pembatasan perkara kasasi. Bagian berikutnya kemudian ada listing tentang perkara-perkara apa saja yang secara kuantitatif atau kualitatif perlu dibatasi, yaitu: perkara kasasi dan PK yang tidak memenuhi syarat formal ,kasasi bidang perkara perkawinan, perkara kasasi perdata dengan nominal tertentu, perkara kasasi hubungan industrial, perkara kasasi pidana tertentu, kasasi dan PK putusan praperadilan, PK dengan alasan Kekhilafan yang nyata putusan hakim. Dalam mekanisme pembatasan tersebut diuraikan beberapa model yang digunakan peradilan-peradilan lain diseluruh dunia yang yaitu: a) Pertama, model pembatasan Limitatif, yaitu memberi batasa terhadap jenis perkara yang tidak dapat diajukan kasasi. b) Kedua model diskresional, yaitu MA diberi kewenangan untuk menetapkan jenis perkara yang dapat diajukan kasasi karena pertimbagan kepentingan publik, HAM dan Konstitusi. c) Ketiga, model campuran, model campuran tetap mengacu pada pembatasan limitatif dalam undang-undang tapi memberikan kemungkinan pada MA untuk menerima atau menolak perkrara yang dapat dikasasi. Dari uraian diatas, yang saya soroti hanyalah pembatasan perkara pada bidang hukum perkawinan yang sesuai dengan kompetensi. Sering kali disebut dalam buku tersebut, perkara perkawinan dianggap sebagai perkara "ringan" dan tidak perlu sampai pada tingkat kasasi dalam penyelesaiannya, selanjutnya argumentasi ini hanya berhenti disitu tanpa memepertimbangkan filsafat hukum yang dikandung dalam sebuah rezim hukum perkawinan di Indonesia. Saya meyakini bahwa anggapan-anggapan tersebut pastilah tanpa tendensi, namun tinjaun terhadap masalah hukum perkawinan dan perceraian tentu menjadi lebih fundamental artinya jika dikaitkan dengan berbagai aspek yang mendasari, mengelilingi dan yang mempengaruhinya. Adapun aspek-aspek yang saya maksud adalah misalnya sebagai berikut: Pertama, aspek kesatuan hukum. fungsi Mahkamah Agung sebagai pemersatu hukum merupakan tujuan dasar dari gagasan pembatasan perkara pada tingkat kasasi ini, hukum perkawinan, yang diadopsi dari hukum Islam menjadi Undang-undang akan berpotensi multiinterpretasi dalam penerapannya. Mengingat karakteristik hukum islam itu sendiri yang hidup di masyarakat, MA melalui hakim-hakim agungnya selama ini bisa "menertibkan" perbedaan-perbedaan yang muncul sekaligus menjadi simpul pengikat yang kuat secara yuridis dan teologis. Kedua, aspek politik hukum. tak terbantahkan politik hukum di Indonesia mengalami sejarah yang cukup panjang dan sangat pelik, ketegangan antara agama (red-Islam) dan negara sudah muncul bahkan sejak pertama kali negara ini terbentuk, namun para pendiri bangsa berhasil meredam ketegangan tersebut dan membentuk negara pancasila. Tentu permasalahan mendasar tersebut berimplikasi langsung pada politik hukum itu sendiri. Ketegangan-ketegangan tersebut berasal dari hal yang paling esensial bagi para muslim yaitu untuk menjalankan Syariah (perintah agamanya) dalam bingkai sebuah negara yang merdeka. Sampai pada akhirnya dapat dilihat dari pola pembagian kewengan badan-badan peradilan dimana Pengadilan Agama berwenang dalam hal perkara-perkara tertentu dalam bidang hukum-hukum yang berkait kelindan langsung dengan hukum Islam dan orang islam. Pembatasan perkara pada tingkat kasasi dalam bidang perkawinan dikhawatirkan menimbulkan disharmoni dalam penerapan hukum Islam dalam hukum positif yang selama ini sudah berjalan selaras dan seimbang. Ketiga, aspek pembaharu hukum. Posisi mahkamah Agung yang sentral dalam tatanan sistem peradilan Indonesia membuahkan hasil yang positif dalam pembaharuan hukum islam di Indonesia. Putusan-putusan kasasi para hakim agung menjadi yurisprudensi yang turut mendorong pembaharuan-pembaharuan hukum tersebut, khususnya hukum keluarga di Indonesia, saat ini penerapan hukum Islam di Indonesia dianggap yang paling moderat di seluruh dunia. Posisi wanita lebih dihargai dan dihormati dan lebih terjamin hak-haknya, sementara dibelahan negara Islam yang lain perjuangan persamaan akses terhadap keadilan masih sulit untuk dilaksanakan. Tanpa peran Mahkamah Agung dalam putusan-putusan kasasinya, sulit membayangkan pembaharuan hukum Islam terjadi di Indonesia. Keempat, Aspek kuantitas jumlah perkara. Fakta yang tidak banyak diketahui orang banyak adalah bahwa perkara perceraian pada saat ini merupakan satu kelompok perkara terbesar dalam sistem peradilan di Indonesia, yaitu melebihi dari 50% dari jumlah seluruh perkara yang masuk ke berbagai lingkungan peradilan di Indonesia. Perkara-perkara dalam hukum keluarga seringkali dianggap kecil, karena hanya menyangkut hubungan personal antar anggota keluarga, namun ditinjau dari sudut pandang pilosofis, yuridis, sosiologis, apalagi teologis tentu perkara-perkara yang terjadi dalam hukum keluarga merupakan hal yang paling fundamental yang sangat berpengaruh terhadap seseorang. Bagi perempuan, laki-laki dan anak-anak berlaku hal yang sama, bukti perkawinan dan perceraian yang sah memiliki dampak penting dalam banyak bidang pembangunan sosial dan ekonomi terkait dengan masalah keamanan menyangkut bukti identitas diri, aset tanah, harta bergerak, kontrak perkawinan dibawah umur, akta kelahiran, hak waris anak-anak, pertanggungjawaban nafkah pasca perceraian, perwalian anak, dll. Hubungan suami-istri, ibu-anak, kakak-adik, ayah-anak, kakek-cucu dst. adalah hubungan-hubungan sakral yang akan menyertai kita dari sejak dalam kandungan sampai ke liang lahat. Dan kalau sudah demikian, bukankah hukum keluarga merupakan konstitusi yang paling hakiki dalam sebuah negara, BAB II PENUTUP Simpulan : Bahwa sikap politik membina kepribadiaan seseorang untuk dapat mengusai diri dan orang lain dengan cara tertentu dalam kelompok untuk mencapai tujuan, pola hubungan dan keterkaitan dengan tujuan yang mengeksperikan sesuatu sikap. Kebijakan, siasat, kepentingan, kelompok merupakan dasar utama dalam sikap seseoarang dan kita sebagai penerus atau generasi muda harus menjaga negara Indonesia dengan baik dan memiliki rasa nasionalisme.

1 comment: